Cerita Lucu Abu Nawas : Kumpulan Humor Sufi | Selamat tiba kembali di matematrick.com. Pengen beda dari biasanya, pada postingan kali ini saya tidak akan menulis wacana permainan angka dan teka teki logika matematika, tetapi akan membagikan pada anda kumpulan dongeng dari sang tokoh sufi fenomenal, Abu Nawas. Mumpung bertepatan dengan bulan puasa, mungkin saja humor sufi yang akan saya bagikan di bawah ini selain untuk refreshing dan hiburan, ada hikmah dan kebijaksanaan yang bisa diambil dari kisah-kisah si Abu Nawas.
Kisah Abu Nawas sendiri bahwasanya yaitu sebuah hikayat yang merupakan cuilan dari kisah 1001 malam; sebuah sastra epik dari Timur Tengah yang lahir pada Abad Pertengahan. Akan tetapi, beberapa kisah yang kini banyak beredar di internet dan buku-buku bukan lagi murni diambil dari cerita 1001 malam, melainkan penyesuaian dan pengembangan pengarang dengan cara mendompleng ketenaran tokoh sang sufi Abu Nawas. Lepas dari itu semua, kisah-kisah wacana Abu Nawas selalu menjanjikan kisah yang lucu, unik dan kerapkali mengandung kejutan di ending cerita.
Nah, sebagai permulaan, tidak ada ruginya jikalau humor sufi kisah 1001 malam sang Abu Nawas ini saya buka dengan sebuah syair karya Abu Nawas yang cukup terkenal dan disesuaikan menjadi sebuah lagu terkenal oleh Opick yang umum terdengar di stasiun-stasiun TV atau radio pada ketika Ramadan menyerupai kini ini.
Itulah lantunan syair Abu Nawas yang merupakan sebuah akreditasi terhadap segenap dosa yang pernah diperbuatnya.
Dari syair Abu Nawas di atas, ada satu pelajaran berharga yang sanggup kita petik, yaitu suatu pertaubatan memang harus terlahir dari hati yang terdalam; yang benar-benar mengakui bahwa ia yaitu sang pendosa.
Dia sadar sepenuhnya bahwa banyaknya dosa yang ia lakukan, banyaknya keburukan yang ia sandang dan banyaknya kelalaian yang dilakukan telah menjadikannya tidak layak menjadi hebat surga. Akan tetapi ia yakin dan berharap akan Tuhan yang maha pengampun mengampuni segala dosanya dan bermurah hati memasukkannya ke dalam Sorga-Nya.
Duh, kok malah jadi serius begini ya... :)
Baiklah, berikut ini saya bagikan beberapa kisah sufi Abu Nawas yang cukup lucu, konyol dan menggelitik.
Kisah ini cukup terkenal dan merupakan awal atau cikal bakal munculnya syair fenomenal yang sudah saya tuliskan di atas. Berikut kisahnya:
Abu Nawas yaitu seorang ulama yang memiliki murid cukup banyak.
Diantara sekian banyak murid Abu nawas, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas menyampaikan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya,
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih gampang diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas lantaran ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas."Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua eksklusif bisa mencerna balasan Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang Lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
"Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga mendapatkan alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan balasan yang berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. la menyampaikan bintang itu kecil lantaran ia hanya memakai mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pintar yang melihat bintang di langit. la menyampaikan bintang itu besar lantaran ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pintar dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap menyampaikan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jikalau dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan balasan yang berbeda. la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah insan bisa menipu Tuhan?"
"Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
"Dengan merayu-Nya melalui kebanggaan dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta mu rid Abu Nawas
"Doa itu yaitu : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahiimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.
Arti doa itu yaitu : Wahai Tuhanku, saya ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi saya tidak akan besar lengan berkuasa terhadap panasnya api neraka. Oleh alasannya yaitu itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
Wallahua'lam bishshowwab.
Suatu hari Khalifah Harun Al-Rasyid murka besar pada mitra karibnya yang setia, yaitu Abu Nawas. Ia ingin menghukum mati Abu Nawas sesudah mendapatkan laporan bahwa Abu Nawas mengeluarkan fatwa tidak mau rukuk dan sujud dalam salat.
Terlebih lagi, Khalifah mendengar Abu Nawas menyampaikan bahwa dirinya suka fitnah! Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas layak dipancung lantaran melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.
Khalifah Harun Al-Rasyid mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melaksanakan tabayun atau melaksanakan konfirmasi. Abu Nawas pun diseret menghadap Khalifah.
"Hai Abu Nawas, benar kau tidak mau rukuk dan sujud dalam salat?" tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, "Benar, Saudaraku."
Khalifah kembali bertanya dengan nada bunyi tinggi, "Benar kau berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid, yaitu seorang khalifah yang suka fitnah?"
Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan bunyi menggelegar, "Kamu memang pantas dieksekusi mati, lantaran melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah wacana khalifah!"
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, "Saudaraku, memang saya tidak menolak bahwa saya telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi tampaknya kabar yang hingga padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seperti saya berkata salah."
Khalifah berkata dengan ketus, "Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan menyampaikan kabar itu benar adanya."
Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, "Saudaraku, saya memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam salat apa? Waktu itu saya menjelaskan tata cara shalat mayat yang memang tidak perlu rukuk dan sujud."
"Bagaimana soal saya yang suka fitnah?" tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyum, "Kalau itu, saya sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ’fitnah’ (ujian) itu."
Mendengar klarifikasi Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan "ya akhi" (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan kekerabatan erat tersebut dengan memutarbalikkan berita.
Sore itu di sebuah warung Abu nawas sedang menikmati secangkir teh hangat,tiba-tiba ia melihat temannya tiba dengan muka yang masam, seolah sedang memendam kesusahan. Diapun duduk di sebelah Abu Nawas.
"sore ini cuaca sangat cerah, tapi kenapa mukamu tak secerah sore ini?" Abu nawas memulai perbincangan
"Bulan-bulan ini istriku mengeluh wacana kawasan tinggal kami, sahutnya
"Kenapa,ada apa dengan rumahmu?"
"Dia mengeluhkan kawasan tinggal kami yang menurutnya terlalu sempit utk kami berempat tinggal"
"kenapa tak kau lebarin aja,kata Abu nawas menyampaikan saran
"kalau ada uang tentu hal ini takan terjadi keluhnya
Abu nawas merenung sejenak. Dia coba cari kebijaksanaan untuk pecahkan kasus sahabatnya. Setelah sanggup kebijaksanaan diapun berkata:"begini, apakah kau punya uang untuk membeli seekor keledai? Sahabatnya tak lantas menjawab pertanyaan Abu Nawas, lantaran ia sedikit bingung, apa hubungannya membangun rumah dengan membeli seekor keledai? tapi dalam hatinya ia yakin pada sahabatnya yang satu ini, lantaran ia selalu menerima jalan keluar dari kasus apapun yang ia hadapi.
Kemudian ia menjawab: "ya! untuk membeli seekor keledai saja saya punya"
"nah, belilah olehmu seekor keledai simpan dan uruslah di rumahmu? ia pun tambah bingung. Bagaimana tidak, tanpa seekor keledai saja rumahnya terasa sempit apalagi kalau ditambah seekor keledai? Tapi ia tak berani membantahnya, sekali lagi ia yakin pada sahabatnya,
"baiklah saya akan coba saran dari kamu. Dibelilah olehnya seekor keledai dan dibawanya pulang. Sesampainya di rumah eksklusif saja ia memasukan keledainya ke dalam rumah sesuai saran dari Abunawas, Istrinya yang ada di dalam rumah terkejut sambil memarahi suaminya,dianggapnya suaminya itu sudah tidak waras
"kamu sudah aneh ya! istrinya memarahi dia, tetapi tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya,
Dia sendiri galau dengan apa yang telah ia lakukan dengan saran dari sahabatnya sendiri. Keesokan harinya ia kembali menemui Abu nawas. Setelah menceritakan apa yang telah terjadi di rumahnya Abu nawas malah menyarankannya untuk membeli lagi seekor kambing.
Diapun tambah kebingungan bagaimana tidak, seekor keledai aja sudah sangat merepotkan apalagi kalau harus di tambah lagi seekor kambing.
Lagi-lagi ia tidak bisa menolak sarannya lantaran ia percaya akan kecerdikan sahabatnya itu.
Dia pun pulang dengan membawa seekor kambing ke rumahnya.
Dapat kita bayangkan apa yang bakal terjadi di rumahnya.
Untuk kedua kalinya ia kena murka sang istri. Apalagi saran yang ketiga ia harus membeli lagi seekor bebek tambah semrawut saja rumahnya.
Habislah kesabarannya, ia tidak besar lengan berkuasa lagi tinggal bersama hewan-hewan tersebut dan pergi menemui si pemberi solusi. Abu nawas cuma tersenyum mendengar curhatan sahabatnya seraya berkata, berapa uang yang kau punya sekarang? tak sepeserpun uang di kantongku katanya.
Sekarang kau pulanglah dan jual keledaimu! keesokan harinya sesudah ia menjual keledainya ia kembali menemui Abu nawas.
Namun kali ini ada yang berbeda di wajahnya sedikit lebih cerah.
Abu nawas : bagaimana keadaan rumahmu sekarang?
sahabatnya : alhamdulillah rumahku kini terasa sedikit lapang sesudah keledainya ku jual.
Abu nawas : nah kini kau jual kambing dan angsanya,,
diapun menuruti kata sahabatnya itu
keesokan harinya wajah ia benar benar sumringah tak ada beban yang tergambar di wajahnya sedikitpun. Dia pun berterima kasih pada Abu nawas sahabatnya.
Akhirnya ia dan istrinya sadar bahwa kelapangan itu ada sesudah kita mencicipi terlebih dulu kesempitan.
Alkisah, suatu hari ayah Abu Nawas mengalami sakit yang sangat berat. Raja khawatir, jikalau ayah Abu Nawas meninggal, maka tidak ada yang bisa menggantikan posisinya sebagai qadhi (pengadil). Dan, kekhawatiran raja kesannya memang terjadi. Ayah Abu Nawas meninggal dunia.
Raja tidak punya banyak pilihan untuk mencari pengganti ayah Abu Nawas. Ia berpendapat: Pakiban u meunan minyeuk, pakiban ku meunan aneuk (Bagaimana kelapa demikian pula minyaknya, bagaimana ayah maka akan begitu pula anaknya-ed). Karena itu, Raja pun kemudian menetapkan Abu Nawas sebagai calon tunggal untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan ayahnya, yang semasa hidupnya menjadi qadhi yang sangat adil, jujur, dan bijaksana.
Akhirnya raja mengutus para prajurit untuk menjemput Abu Nawas di kediamannya untuk dihadapkan kepada raja. Tentu saja untuk dimintai kesediaan Abu Nawas menggantikan ayahnya. Sesampai di istana, ternyata Abu Nawas sudah tidak menyerupai dulu lagi. Abu Nawas sudah gila.
Melihat kenyataan Abu Nawas yang sudah gila, kesannya raja membatalkan untuk menyerahkan jabatan qadhi kepadanya. Timbul pertanyaan, apakah benar Abu Nawas aneh lantaran ditinggal ayahnya? Tentu tidak. Semasa masih hidup, ayahnya berpesan, janganlah jadi pemimpin. Karena itulah Abu Nawas berpura-pura gila.
Terkait kasus ini Rasulullah SAW pernah bersabda: “Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dulu, di zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan menjadi pemimpin. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Abu Bakar Siddiq yang diminta menggantikan Rasululllah sebagai khalifah, malah mengusulkuan Umar, dengan alasan Umar yaitu seorang yang kuat. Tetapi Umar menolak, sebaliknya malah mengusulkan Abu Bakar. Para sahabat memandang jabatan yaitu momok yang sangat menakutkan. Mereka berusaha menghindarinya, tentu sebatas kewajaran dan masih mungkin dihindari.
Kenyataan hari ini, orang-orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Dengan dalih, lantaran panggilan hati, atau lantaran diminta oleh rakyat. Entah rakyat mana yang memintanya untuk menjadi pemimpin. Inilah basa-basi klasik untuk mengelabui siapa saja, bahwa keinginannya untuk menjadi pemimpin bukan lantaran ambisi.
Jika ditelaah lebih dalam, penolakan para sahabat didasari atas hadist Rasulullah wacana betapa beratnya menjadi pemimpin. “Setiap kau yaitu pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.” Didalam hadis yang lain, sebagaimana disampaikan oleh bubuk hurairah, “kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu yaitu penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung.” (HR Bukhari).
Suatu ketika Raja Harun Ar-Rasyid kelihatan murung. Semua menterinya tidak ada yang sanggup menemukan balasan dari dua pertanyaan Raja. Bahkan para penasihat kerajaan pun merasa tidak bisa member klarifikasi yang memuaskan Raja. Padahal Raja sendiri ingin mengetahui balasan yang sebenarnya.
Mungkin lantaran amat penasaran, para penasihat Raja menyarankan biar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu usang kemudian Abu Nawas dihadapkan.
Raja menyampaikan bahwa akhir-akhir ini ia tak bisa tidur lantaran diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua diam-diam alam.
"Tuanku yang mulia, bahwasanya diam-diam alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" Tanya Abu Nawas ingin tahu.
"Aku memanggilmu untuk menemukan balasan dari dua teka-teki yang selama ini menarik hati pikiranku" kata Raja Harun Ar-Rasyid.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."
"Yang pertama, dimanakah bahwasanya batas Jagat Raya ciptaan Tuhan?" Tanya Baginda.
Abu Nawas menjawab, "Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia". Dia menjawab tanpa keraguan sedikit pun.
"Tuanku yang mulia", lanjut Abu Nawas menjelaskan, "ketidakterbatasan itu ada lantaran adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu insan tidak akan pernah tahu dimana batas Jagat Raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan bisa mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Baginda Raja mulai tersenyum lantaran merasa puas mendengar klarifikasi Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya: bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"
Abu Nawas menjawab dengan tangkas, "Ikan-ikan di laut."
"Bagaimana kau bisa eksklusif menetapkan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" Tanya Raja heran.
"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah yang besar, tetapi jumlah mereka tetap banyak seperti tidak pernah berkurang lantaran saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." Jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa ingin tau yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Ar-Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
Alkisah Abu Jahil yaitu seorang cendekia pintar di kota Persia. Pengetahuannya luas mencakup banyak hal, dari astronomi, ilmu hitung, ilmu alam dan lain sebagainya. Ia juga mendengar ada cendekia pintar lain di kota Persia yaitu Abu Nawas. Karena rasa ujub dan sombong di dadanya, ia menantang Abu Nawas memainkan sebuah permainan tebak-tebakan
Abu Jahil: Aku akan mengajukan satu pertanyaan, jikalau Anda tidak tahu jawabannya maka Anda membayar saya hanya 5 dirham, dan jikalau saya tidak tahu jawabannya, saya akan membayar Anda 500 dirham.
Abu Jahil mengajukan pertanyaan pertama:
Berapa jarak dari Bumi ke Bulan ?
Abu Nawas tidak mengucapkan sepatah kata pun, merogoh saku, mengeluarkan 5 dirham dan menyerahkannya pada Abu Jahil.
Sekarang, giliran Abu Nawas bertanya.
Dia bertanya kepada Abu Jahil: Apakah yang naik ke atas bukit dengan 3 kaki, dan akan turun dengan 4 kaki ?
Abu Jahil berpikir keras, Setelah hampir satu jam mencari balasan kesannya ia menyampaikan Abu Nawas 500 dirham.
Abu Jahil sambil ingin tau bertanya: Nah, jadi apa yang naik ke atas bukit dengan tiga kaki dan turun dengan empat kaki ?
Abu Nawas tidak bersuara, ia merogoh saku, dan menyampaikan kepada Abu Jahil 5 dirham.
Pada suatu hari Abu Nawas dipanggil oleh Khalifah.
"Abu Nawas...." kata Khalifah Harun Al-Rasyid.
"Daulat Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.
"Aku akan beterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau saya panggil bukan untuk kupermainkan atau saya perangkap.
Tetapi saya benar-benar memerlukan bantuanmu." kata Khalifah.
"Apakah gerangan yang bisa hamba lakukan untuk paduka?" tanya Abu Nawas.
Pertanyaan Khalifah:
"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang kemudian saya menerima kunjungan dari negeri sahabat, kebetulan rajanya beragama Yahudi.
Raja itu yaitu sahabat karibku hingga begitu berjumpa denganku, ia eksklusif mengucapkan salam secara Islam.
Aku tidak menduga sama sekali.
Tanpa pikir panjang saya membalas salamnya sesuai dengan fatwa agama kita yaitu kalau menerima salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu).
Tentu saja ia merasa tersinggung.
Dia menanyakan mengapa saya tega membalas salamnya yang penuh doa keselamatan dengan balasan yang mengandung kecelakaan.
Saat itu sungguh saya tak bisa berkata apa-apa selain diam.
Pertemuanku dengan ia selanjutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Aku berusaha menjelaskan bahwa saya hanya melaksanakan apa yang dianjurkan oleh fatwa Islam, akan tetapi ia tidak bisa mendapatkan penjelasanku.
Aku mencicipi bahwa pandangannya terhadap Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya.
Namun bila engkau memiliki alasan lain yang bisa saya terima, kita akan tetap bersahabat, begitu kata sahabat karibku itu."
"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin hamba bisa menyampaikan alasan yang dikehendaki Raja sahabat paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan Khalifah.
Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Wajah Khalifah yang semula gundah gulana seketika itu berubah cerah.
"Cepat katakan wahai Abu Nawas, jangan biarakan saya menunggu." kata Khalifah tak sabar.
Jawaban Abu Nawas:
"Khalifah yang mulia...memang sepantasnyalah kalau Raja Yahudi itu menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Khalifah.
Karena fatwa Islam memang menuju keselamatan dari siksa api neraka dan kesejahteraan menuju surga.
Bukankah Islam mengajarkan tauhid yang berarti tidak menyekutukan Allah SWT, juga termasuk tidak menganggap Allah memiliki anak.
Nah fatwa tauhid ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja Yahudi sahabat paduka itu.
Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair yaitu anak Allah.
Maha Suci Allah dengan anggapan itu dan tidak pantas Allah memiliki anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapak Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu) bukan berarti mendoakan biar kau celaka.
Akan tetapi semata-mata lantaran ketulusan dan kejujuran Islam yang masih bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru."
Seketika itu juga kegundahan Khalifah Harun Al-Rasyid sirna.
Kali ini saking gembiranya, Khalifah menyampaikan biar Abu Nawas menentukan sendiri hadiah apa yang disukai.
Namun Abu Nawas tidak menentukan apa-apa lantaran ia berkeyakinan bahwa tak selayaknya ia mendapatkan upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.
Kisah Abu Nawas sendiri bahwasanya yaitu sebuah hikayat yang merupakan cuilan dari kisah 1001 malam; sebuah sastra epik dari Timur Tengah yang lahir pada Abad Pertengahan. Akan tetapi, beberapa kisah yang kini banyak beredar di internet dan buku-buku bukan lagi murni diambil dari cerita 1001 malam, melainkan penyesuaian dan pengembangan pengarang dengan cara mendompleng ketenaran tokoh sang sufi Abu Nawas. Lepas dari itu semua, kisah-kisah wacana Abu Nawas selalu menjanjikan kisah yang lucu, unik dan kerapkali mengandung kejutan di ending cerita.
cerita lucu Abu Nawas |
Nah, sebagai permulaan, tidak ada ruginya jikalau humor sufi kisah 1001 malam sang Abu Nawas ini saya buka dengan sebuah syair karya Abu Nawas yang cukup terkenal dan disesuaikan menjadi sebuah lagu terkenal oleh Opick yang umum terdengar di stasiun-stasiun TV atau radio pada ketika Ramadan menyerupai kini ini.
Syair Al 'Itiraf (Pengakuan) Abu Nawas
Ya Tuhanku, tidak pantas bagiku menjadi penghuni surga-Mu
Namun, saya tidak besar lengan berkuasa dengan panasnya api neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa-dosa besar
Dosaku menyerupai jumlah pasir
Maka terimalah akreditasi taubatku Wahai Pemilik Keagungan
Dan umurku berkurang setiap hari
Sedang dosaku bertambah, bagaimana saya menanggungnya
Ya Tuhanku, hamba-Mu yang berdosa ini tiba kepada-Mu
Mengakui dosa-dosaku dan memohon pada-Mu
Seandainya Engkau mengampuni
Memang Engkaulah Pemilik Ampunan
Dan seandainya Engkau menolak taubatku
Kepada siapa lagi saya memohon ampunan selain hanya kepada-MU
Itulah lantunan syair Abu Nawas yang merupakan sebuah akreditasi terhadap segenap dosa yang pernah diperbuatnya.
Dari syair Abu Nawas di atas, ada satu pelajaran berharga yang sanggup kita petik, yaitu suatu pertaubatan memang harus terlahir dari hati yang terdalam; yang benar-benar mengakui bahwa ia yaitu sang pendosa.
Dia sadar sepenuhnya bahwa banyaknya dosa yang ia lakukan, banyaknya keburukan yang ia sandang dan banyaknya kelalaian yang dilakukan telah menjadikannya tidak layak menjadi hebat surga. Akan tetapi ia yakin dan berharap akan Tuhan yang maha pengampun mengampuni segala dosanya dan bermurah hati memasukkannya ke dalam Sorga-Nya.
Dalam bahasa lain; bukan banyaknya pahala dan amal perbuatan yang akan menciptakan kita masuk sorga, melainkan rahmat dan karunia Allah.
Duh, kok malah jadi serius begini ya... :)
Baiklah, berikut ini saya bagikan beberapa kisah sufi Abu Nawas yang cukup lucu, konyol dan menggelitik.
1. Humor Sufi 1001 Malam : Kisah Abu Nawas Menipu Tuhan
kisah bubuk nawas menipu tuhan |
Abu Nawas yaitu seorang ulama yang memiliki murid cukup banyak.
Diantara sekian banyak murid Abu nawas, ada satu orang yang hampir selalu menanyakan mengapa Abu Nawas menyampaikan begini dan begitu. Suatu ketika ada tiga orang tamu bertanya kepada Abu Nawas dengan pertanyaan yang sama. Orang pertama mulai bertanya,
"Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang pertama.
"Sebab lebih gampang diampuni oleh Tuhan." kata Abu Nawas.
Orang pertama puas lantaran ia memang yakin begitu.
Orang kedua bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang tidak mengerjakan keduanya." jawab Abu Nawas."Mengapa?" kata orang kedua.
"Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu tidak memerlukan pengampunan dari Tuhan." kata Abu Nawas. Orang kedua eksklusif bisa mencerna balasan Abu Nawas.
Orang ketiga juga bertanya dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang Lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?"
"Orang yang mengerjakan dosa-dosa besar." jawab Abu Nawas.
"Mengapa?" kata orang ketiga.
"Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba itu." jawab Abu Nawas. Orang ketiga mendapatkan alasan Abu Nawas. Kemudian ketiga orang itu pulang dengan perasaan puas.
Karena belum mengerti seorang murid Abu Nawas bertanya.
"Mengapa dengan pertanyaan yang sama bisa menghasilkan balasan yang berbeda?"
"Manusia dibagi tiga tingkatan. Tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati."
"Apakah tingkatan mata itu?" tanya murid Abu Nawas. "Anak kecil yang melihat bintang di langit. la menyampaikan bintang itu kecil lantaran ia hanya memakai mata." jawab Abu Nawas mengandaikan.
"Apakah tingkatan otak itu?" tanya murid Abu Nawas. "Orang pintar yang melihat bintang di langit. la menyampaikan bintang itu besar lantaran ia berpengetahuan." jawab Abu Nawas.
"Lalu apakah tingkatan hati itu?" tanya murid Abu Nawas.
"Orang pintar dan mengerti yang melihat bintang di langit. la tetap menyampaikan bintang itu kecil walaupun ia tahu bintang itu besar. Karena bagi orang yang mengerti tidak ada sesuatu apapun yang besar jikalau dibandingkan dengan KeMaha-Besaran Allah."
Kini murid Abu Nawas mulai mengerti mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan balasan yang berbeda. la bertanya lagi.
"Wahai guru, mungkinkah insan bisa menipu Tuhan?"
"Mungkin." jawab Abu Nawas.
"Bagaimana caranya?" tanya murid Abu Nawas ingin tahu.
"Dengan merayu-Nya melalui kebanggaan dan doa." kata Abu Nawas
"Ajarkanlah doa itu padaku wahai guru." pinta mu rid Abu Nawas
"Doa itu yaitu : llahi lastu lil firdausi ahla, wala aqwa'alan naril jahiimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzanbil 'adhimi.
Arti doa itu yaitu : Wahai Tuhanku, saya ini tidak pantas menjadi penghuni surga, tetapi saya tidak akan besar lengan berkuasa terhadap panasnya api neraka. Oleh alasannya yaitu itu terimalah tobatku serta ampunilah dosa-dosaku. Karena sesungguhnya Engkaulah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar.
Wallahua'lam bishshowwab.
2.Kisah Sufi Abu Nawas tidak mau Sujud dan Rukuk dalam Salat
Terlebih lagi, Khalifah mendengar Abu Nawas menyampaikan bahwa dirinya suka fitnah! Menurut pembantu-pembantunya, Abu Nawas layak dipancung lantaran melanggar syariat Islam dan menyebar fitnah.
Khalifah Harun Al-Rasyid mulai terpancing. Tapi untung ada seorang pembantunya yang memberi saran, hendaknya Khalifah melaksanakan tabayun atau melaksanakan konfirmasi. Abu Nawas pun diseret menghadap Khalifah.
"Hai Abu Nawas, benar kau tidak mau rukuk dan sujud dalam salat?" tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan tenang, "Benar, Saudaraku."
Khalifah kembali bertanya dengan nada bunyi tinggi, "Benar kau berkata kepada masyarakat bahwa aku, Harun Al-Rasyid, yaitu seorang khalifah yang suka fitnah?"
Abu Nawas menjawab, ”Benar, Saudaraku.”
Khalifah berteriak dengan bunyi menggelegar, "Kamu memang pantas dieksekusi mati, lantaran melanggar syariat Islam dan menebarkan fitnah wacana khalifah!"
Abu Nawas tersenyum seraya berkata, "Saudaraku, memang saya tidak menolak bahwa saya telah mengeluarkan dua pendapat tadi, tapi tampaknya kabar yang hingga padamu tidak lengkap. Kata-kataku dipelintir, dijagal, seperti saya berkata salah."
Khalifah berkata dengan ketus, "Apa maksudmu? Jangan membela diri, kau telah mengaku dan menyampaikan kabar itu benar adanya."
Abu Nawas beranjak dari duduknya dan menjelaskan dengan tenang, "Saudaraku, saya memang berkata rukuk dan sujud tidak perlu dalam shalat, tapi dalam salat apa? Waktu itu saya menjelaskan tata cara shalat mayat yang memang tidak perlu rukuk dan sujud."
"Bagaimana soal saya yang suka fitnah?" tanya Khalifah.
Abu Nawas menjawab dengan senyum, "Kalau itu, saya sedang menjelaskan tafsir ayat 28 surat Al-Anfal, yang berbunyi ketahuilah bahwa kekayaan dan anak-anakmu hanyalah ujian bagimu. Sebagai seorang khalifah dan seorang ayah, anda sangat menyukai kekayaan dan anak-anak, berarti anda suka ’fitnah’ (ujian) itu."
Mendengar klarifikasi Abu Nawas yang sekaligus kritikan, Khalifah Harun Al-Rasyid tertunduk malu, menyesal dan sadar. Rupanya, kedekatan Abu Nawas dengan Harun Al-Rasyid menyulut iri dan dengki di antara pembantu-pembantunya. Abu Nawas memanggil Khalifah dengan "ya akhi" (saudaraku). Hubungan di antara mereka bukan antara tuan dan hamba. Pembantu-pembantu khalifah yang hasud ingin memisahkan kekerabatan erat tersebut dengan memutarbalikkan berita.
3. Kisah Abu Nawas : mengatasi kesempitan hidup teman
"sore ini cuaca sangat cerah, tapi kenapa mukamu tak secerah sore ini?" Abu nawas memulai perbincangan
"Bulan-bulan ini istriku mengeluh wacana kawasan tinggal kami, sahutnya
"Kenapa,ada apa dengan rumahmu?"
"Dia mengeluhkan kawasan tinggal kami yang menurutnya terlalu sempit utk kami berempat tinggal"
"kenapa tak kau lebarin aja,kata Abu nawas menyampaikan saran
"kalau ada uang tentu hal ini takan terjadi keluhnya
Abu nawas merenung sejenak. Dia coba cari kebijaksanaan untuk pecahkan kasus sahabatnya. Setelah sanggup kebijaksanaan diapun berkata:"begini, apakah kau punya uang untuk membeli seekor keledai? Sahabatnya tak lantas menjawab pertanyaan Abu Nawas, lantaran ia sedikit bingung, apa hubungannya membangun rumah dengan membeli seekor keledai? tapi dalam hatinya ia yakin pada sahabatnya yang satu ini, lantaran ia selalu menerima jalan keluar dari kasus apapun yang ia hadapi.
Kemudian ia menjawab: "ya! untuk membeli seekor keledai saja saya punya"
"nah, belilah olehmu seekor keledai simpan dan uruslah di rumahmu? ia pun tambah bingung. Bagaimana tidak, tanpa seekor keledai saja rumahnya terasa sempit apalagi kalau ditambah seekor keledai? Tapi ia tak berani membantahnya, sekali lagi ia yakin pada sahabatnya,
"baiklah saya akan coba saran dari kamu. Dibelilah olehnya seekor keledai dan dibawanya pulang. Sesampainya di rumah eksklusif saja ia memasukan keledainya ke dalam rumah sesuai saran dari Abunawas, Istrinya yang ada di dalam rumah terkejut sambil memarahi suaminya,dianggapnya suaminya itu sudah tidak waras
"kamu sudah aneh ya! istrinya memarahi dia, tetapi tak sepatah katapun yang keluar dari mulutnya,
Dia sendiri galau dengan apa yang telah ia lakukan dengan saran dari sahabatnya sendiri. Keesokan harinya ia kembali menemui Abu nawas. Setelah menceritakan apa yang telah terjadi di rumahnya Abu nawas malah menyarankannya untuk membeli lagi seekor kambing.
Diapun tambah kebingungan bagaimana tidak, seekor keledai aja sudah sangat merepotkan apalagi kalau harus di tambah lagi seekor kambing.
Lagi-lagi ia tidak bisa menolak sarannya lantaran ia percaya akan kecerdikan sahabatnya itu.
Dia pun pulang dengan membawa seekor kambing ke rumahnya.
Dapat kita bayangkan apa yang bakal terjadi di rumahnya.
Untuk kedua kalinya ia kena murka sang istri. Apalagi saran yang ketiga ia harus membeli lagi seekor bebek tambah semrawut saja rumahnya.
Habislah kesabarannya, ia tidak besar lengan berkuasa lagi tinggal bersama hewan-hewan tersebut dan pergi menemui si pemberi solusi. Abu nawas cuma tersenyum mendengar curhatan sahabatnya seraya berkata, berapa uang yang kau punya sekarang? tak sepeserpun uang di kantongku katanya.
Sekarang kau pulanglah dan jual keledaimu! keesokan harinya sesudah ia menjual keledainya ia kembali menemui Abu nawas.
Namun kali ini ada yang berbeda di wajahnya sedikit lebih cerah.
Abu nawas : bagaimana keadaan rumahmu sekarang?
sahabatnya : alhamdulillah rumahku kini terasa sedikit lapang sesudah keledainya ku jual.
Abu nawas : nah kini kau jual kambing dan angsanya,,
diapun menuruti kata sahabatnya itu
keesokan harinya wajah ia benar benar sumringah tak ada beban yang tergambar di wajahnya sedikitpun. Dia pun berterima kasih pada Abu nawas sahabatnya.
Akhirnya ia dan istrinya sadar bahwa kelapangan itu ada sesudah kita mencicipi terlebih dulu kesempitan.
4. Kisah Abu Nawas Menolak jadi Pejabat
Raja tidak punya banyak pilihan untuk mencari pengganti ayah Abu Nawas. Ia berpendapat: Pakiban u meunan minyeuk, pakiban ku meunan aneuk (Bagaimana kelapa demikian pula minyaknya, bagaimana ayah maka akan begitu pula anaknya-ed). Karena itu, Raja pun kemudian menetapkan Abu Nawas sebagai calon tunggal untuk menggantikan posisi yang ditinggalkan ayahnya, yang semasa hidupnya menjadi qadhi yang sangat adil, jujur, dan bijaksana.
Akhirnya raja mengutus para prajurit untuk menjemput Abu Nawas di kediamannya untuk dihadapkan kepada raja. Tentu saja untuk dimintai kesediaan Abu Nawas menggantikan ayahnya. Sesampai di istana, ternyata Abu Nawas sudah tidak menyerupai dulu lagi. Abu Nawas sudah gila.
Melihat kenyataan Abu Nawas yang sudah gila, kesannya raja membatalkan untuk menyerahkan jabatan qadhi kepadanya. Timbul pertanyaan, apakah benar Abu Nawas aneh lantaran ditinggal ayahnya? Tentu tidak. Semasa masih hidup, ayahnya berpesan, janganlah jadi pemimpin. Karena itulah Abu Nawas berpura-pura gila.
Terkait kasus ini Rasulullah SAW pernah bersabda: “Demi Allah, saya tidak akan menyerahkan suatu jabatan kepada orang yang meminta untuk diangkat dan tidak pula kepada orang yang berharap-harap untuk diangkat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dulu, di zaman sahabat, mereka saling bertolak-tolakan menjadi pemimpin. Dalam sebuah riwayat dijelaskan, Abu Bakar Siddiq yang diminta menggantikan Rasululllah sebagai khalifah, malah mengusulkuan Umar, dengan alasan Umar yaitu seorang yang kuat. Tetapi Umar menolak, sebaliknya malah mengusulkan Abu Bakar. Para sahabat memandang jabatan yaitu momok yang sangat menakutkan. Mereka berusaha menghindarinya, tentu sebatas kewajaran dan masih mungkin dihindari.
Kenyataan hari ini, orang-orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Dengan dalih, lantaran panggilan hati, atau lantaran diminta oleh rakyat. Entah rakyat mana yang memintanya untuk menjadi pemimpin. Inilah basa-basi klasik untuk mengelabui siapa saja, bahwa keinginannya untuk menjadi pemimpin bukan lantaran ambisi.
Jika ditelaah lebih dalam, penolakan para sahabat didasari atas hadist Rasulullah wacana betapa beratnya menjadi pemimpin. “Setiap kau yaitu pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya.” Didalam hadis yang lain, sebagaimana disampaikan oleh bubuk hurairah, “kalian akan berebut untuk mendapatkan kekuasaan. Padahal kekuasaan itu yaitu penyesalan di hari Kiamat, nikmat di awal dan pahit di ujung.” (HR Bukhari).
5. Kisah 1001 malam: Abu Nawas menjawab Teka teki diam-diam alam
Mungkin lantaran amat penasaran, para penasihat Raja menyarankan biar Abu Nawas saja yang memecahkan dua teka-teki yang membingungkan itu. Tidak begitu usang kemudian Abu Nawas dihadapkan.
Raja menyampaikan bahwa akhir-akhir ini ia tak bisa tidur lantaran diganggu oleh keingintahuan menyingkap dua diam-diam alam.
"Tuanku yang mulia, bahwasanya diam-diam alam yang manakah yang Paduka maksudkan?" Tanya Abu Nawas ingin tahu.
"Aku memanggilmu untuk menemukan balasan dari dua teka-teki yang selama ini menarik hati pikiranku" kata Raja Harun Ar-Rasyid.
"Bolehkah hamba mengetahui kedua teka-teki itu wahai Paduka junjungan hamba."
"Yang pertama, dimanakah bahwasanya batas Jagat Raya ciptaan Tuhan?" Tanya Baginda.
Abu Nawas menjawab, "Di dalam pikiran, wahai Paduka yang mulia". Dia menjawab tanpa keraguan sedikit pun.
"Tuanku yang mulia", lanjut Abu Nawas menjelaskan, "ketidakterbatasan itu ada lantaran adanya keterbatasan. Dan keterbatasan itu ditanamkan oleh Tuhan di dalam otak manusia. Dari itu insan tidak akan pernah tahu dimana batas Jagat Raya ini. Sesuatu yang terbatas tentu tak akan bisa mengukur sesuatu yang tidak terbatas."
Baginda Raja mulai tersenyum lantaran merasa puas mendengar klarifikasi Abu Nawas yang masuk akal. Kemudian Baginda melanjutkan teka-teki yang kedua.
"Wahai Abu Nawas, manakah yang lebih banyak jumlahnya: bintang-bintang di langit ataukah ikan-ikan di laut?"
Abu Nawas menjawab dengan tangkas, "Ikan-ikan di laut."
"Bagaimana kau bisa eksklusif menetapkan begitu. Apakah engkau pernah menghitung jumlah mereka?" Tanya Raja heran.
"Paduka yang mulia, bukankah kita semua tahu bahwa ikan-ikan itu setiap hari ditangkapi dalam jumlah yang besar, tetapi jumlah mereka tetap banyak seperti tidak pernah berkurang lantaran saking banyaknya. Sementara bintang-bintang itu tidak pernah rontok, jumlah mereka juga banyak." Jawab Abu Nawas meyakinkan.
Seketika itu rasa ingin tau yang selama ini menghantui Baginda sirna tak berbekas. Baginda Raja Harun Ar-Rasyid memberi hadiah Abu Nawas dan istrinya uang yang cukup banyak.
6. Kisah Lucu Abu Nawas : Permainan tebak-tebakan
Abu Jahil: Aku akan mengajukan satu pertanyaan, jikalau Anda tidak tahu jawabannya maka Anda membayar saya hanya 5 dirham, dan jikalau saya tidak tahu jawabannya, saya akan membayar Anda 500 dirham.
Abu Jahil mengajukan pertanyaan pertama:
Berapa jarak dari Bumi ke Bulan ?
Abu Nawas tidak mengucapkan sepatah kata pun, merogoh saku, mengeluarkan 5 dirham dan menyerahkannya pada Abu Jahil.
Sekarang, giliran Abu Nawas bertanya.
Dia bertanya kepada Abu Jahil: Apakah yang naik ke atas bukit dengan 3 kaki, dan akan turun dengan 4 kaki ?
Abu Jahil berpikir keras, Setelah hampir satu jam mencari balasan kesannya ia menyampaikan Abu Nawas 500 dirham.
Abu Jahil sambil ingin tau bertanya: Nah, jadi apa yang naik ke atas bukit dengan tiga kaki dan turun dengan empat kaki ?
Abu Nawas tidak bersuara, ia merogoh saku, dan menyampaikan kepada Abu Jahil 5 dirham.
7. Kisah Abu Nawas : Antara Sahabat dan Keyakinan
"Abu Nawas...." kata Khalifah Harun Al-Rasyid.
"Daulat Paduka yang mulia." jawab Abu Nawas.
"Aku akan beterus terang kepadamu bahwa kali ini engkau saya panggil bukan untuk kupermainkan atau saya perangkap.
Tetapi saya benar-benar memerlukan bantuanmu." kata Khalifah.
"Apakah gerangan yang bisa hamba lakukan untuk paduka?" tanya Abu Nawas.
Pertanyaan Khalifah:
"Ketahuilah bahwa beberapa hari yang kemudian saya menerima kunjungan dari negeri sahabat, kebetulan rajanya beragama Yahudi.
Raja itu yaitu sahabat karibku hingga begitu berjumpa denganku, ia eksklusif mengucapkan salam secara Islam.
Aku tidak menduga sama sekali.
Tanpa pikir panjang saya membalas salamnya sesuai dengan fatwa agama kita yaitu kalau menerima salam dari orang yang tidak beragama Islam hendaklah engkau jawab dengan Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu).
Tentu saja ia merasa tersinggung.
Dia menanyakan mengapa saya tega membalas salamnya yang penuh doa keselamatan dengan balasan yang mengandung kecelakaan.
Saat itu sungguh saya tak bisa berkata apa-apa selain diam.
Pertemuanku dengan ia selanjutnya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Aku berusaha menjelaskan bahwa saya hanya melaksanakan apa yang dianjurkan oleh fatwa Islam, akan tetapi ia tidak bisa mendapatkan penjelasanku.
Aku mencicipi bahwa pandangannya terhadap Islam tidak semakin baik, tetapi sebaliknya.
Namun bila engkau memiliki alasan lain yang bisa saya terima, kita akan tetap bersahabat, begitu kata sahabat karibku itu."
"Kalau hanya itu persoalannya, mungkin hamba bisa menyampaikan alasan yang dikehendaki Raja sahabat paduka itu yang mulia." kata Abu Nawas meyakinkan Khalifah.
Mendengar kesanggupan Abu Nawas, Wajah Khalifah yang semula gundah gulana seketika itu berubah cerah.
"Cepat katakan wahai Abu Nawas, jangan biarakan saya menunggu." kata Khalifah tak sabar.
Jawaban Abu Nawas:
"Khalifah yang mulia...memang sepantasnyalah kalau Raja Yahudi itu menghaturkan ucapan salam keselamatan dan kesejahteraan kepada Khalifah.
Karena fatwa Islam memang menuju keselamatan dari siksa api neraka dan kesejahteraan menuju surga.
Bukankah Islam mengajarkan tauhid yang berarti tidak menyekutukan Allah SWT, juga termasuk tidak menganggap Allah memiliki anak.
Nah fatwa tauhid ini tidak dimiliki oleh agama-agama lain termasuk agama yang dianut Raja Yahudi sahabat paduka itu.
Ajaran agama Yahudi menganggap Uzair yaitu anak Allah.
Maha Suci Allah dengan anggapan itu dan tidak pantas Allah memiliki anak.
Sedangkan orang Islam membalas salam dengan ucapak Wassamualaikum (kecelakaan bagi kamu) bukan berarti mendoakan biar kau celaka.
Akan tetapi semata-mata lantaran ketulusan dan kejujuran Islam yang masih bersedia memperingatkan orang lain atas kecelakaan yang akan menimpa bila mereka tetap berpegang teguh pada keyakinan yang keliru."
Seketika itu juga kegundahan Khalifah Harun Al-Rasyid sirna.
Kali ini saking gembiranya, Khalifah menyampaikan biar Abu Nawas menentukan sendiri hadiah apa yang disukai.
Namun Abu Nawas tidak menentukan apa-apa lantaran ia berkeyakinan bahwa tak selayaknya ia mendapatkan upah dari ilmu agama yang ia sampaikan.
Demikianlah beberapa Cerita Lucu Abu Nawas diambil dari aneka macam sumber. Untuk Kumpulan Humor Sufi lainnya kalau sempat akan saya posting sesudah ini.
Terima kasih sudah berkenan berkunjung dan membaca postingan tentang Cerita Lucu Abu Nawas : Kumpulan Humor Sufi, semoga ada manfaat dan hikmah yang bisa didapat. Salam.
0 Response to "Cerita Lucu Bubuk Nawas : Kumpulan Humor Sufi"