Sebenarnya sudah usang ingin menulis wacana kata "Kyai". Tapi masih tertunda. Keinginan untuk menulis wacana "Kyai" ini kembali muncul sehabis memasuki masa kampanye terbuka Pemilu 2019.
Ada salah satu partai yang selalu membawa kata "Kyai" dalan slogan. Nah slogan yang dicetak besar-besar itulah yang saya baca. Akhirnya memunculkan semangat untuk menulis wacana "Kyai".
Seperti halnya tulisan-tulisan lain, pembahasan "kyai" ini tentu saja dari segi linguistik. Wabilkhusus fenomena penulisan kata.
Kalau pembahasan Makna kata 'kiai' tentu sudah banyak. Salah satu tokoh yang pernah membahas wacana 'kiai' yaitu Sujiwo Tejo. Dia membahas bahwa 'kiai' dalam khazanah kebudayaan Jawa, tidak hanya berafiliasi dengan tokoh agama islam. Tapi juga disematkan ke benda pusaka, bahkan binatang yang dihormati: 'kerbau'. Dengan sebutan 'Kiai Selamet'.
Pembahasan menyerupai itu sudah banyak. Bahkan sudah sangat banyak. Maka dalam goresan pena ini, dibahas dari segi bahasanya.
Kalau kita mencari kata "kyai" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita niscaya bakal diarahkan kepada kata "kiai". Pakai karakter 'i' sehabis 'k'. Tidak ada karakter 'y'. Inilah yang baku, berdasarkan kaidah bahasa.
Penulisan 'kyai' dianggap tidak baku, sebab dalam kaidah tata bahasa baku bahasa Indonesia (dulu) tidak dikenal gugus konsonan 'ky'. Belum tentu, ke depan masih konsisten menyerupai ini.
Ketentuan bahasa dapat berubah. Ketika berguru di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dulu, saya pernah berselisih paham dengan salah seorang pengajar. Menurutnya yang merujuk pada Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia tidak ada susuna 'mt'. Padahal saya menemukan lema / entri 'Tamtama' dan 'Tamtam' dalam KBBI Edisi Ketiga.
Nah, kata 'kiai' mungkin mengalamibproses pembakuan yang demikian. Karena tidak ada susunan 'ky' dalam kaidah pembentukan istilah Bahasa Indonesia, maka bentuk pembakuannya yaitu 'kiai'.
Lalu, mengapa masih banyak yang menulis 'kyai' pakai y alih-alih pakai i. Hal ini dipengaruhi bentuk kata dan goresan pena asalnya. Kata 'kyai' bahkan ada yang menulis 'kiyai' biasa dipakai dalam khazanah Islam Jawa/Pesantren dalam bentuk karakter arab pegon. Bahasa Jawa yang ditulis dalam karakter arab dengan modifikasi. Modifikasi ini diharapkan untuk menyesuaikan suara bahasa Jawa yang tidak terwakili oleh karakter arab.
Penulisan 'kiai' dalam karakter pegon yaitu كياهي karakter utamanya yaitu kaf yak ha' dan yak. Kalau karakter ha' dalam pegon, nasibnya sama dengan karakter ho dalam karakter jawa. Sama-sama biasa dilesapkan. Karena sama-sama tidak punya karakter vokal. Maka biasa luluh atau hilang.
Tapi tidak begitu dengan karakter 'yak'. Maka, saat ditransliterasikan dengan karakter latin, orang yang sudah kenal karakter pegon maka bakal menulis kiyahi, atau kiyai, atau kyai. Bentuk yang paling jamak dipakai yaitu 'kyai'.
Sama halnya dengan penulisan 'sholat'. Karena memang bunyinya harus menyerupai itu, bentuk baku 'salat' dalam penulisan bahasa Indonesia justru dianggap salah.
Selebihnya, terserah para pemakainya. Mau pakai 'kiai' atau 'kyai' terserah.
Ada salah satu partai yang selalu membawa kata "Kyai" dalan slogan. Nah slogan yang dicetak besar-besar itulah yang saya baca. Akhirnya memunculkan semangat untuk menulis wacana "Kyai".
Seperti halnya tulisan-tulisan lain, pembahasan "kyai" ini tentu saja dari segi linguistik. Wabilkhusus fenomena penulisan kata.
Kalau pembahasan Makna kata 'kiai' tentu sudah banyak. Salah satu tokoh yang pernah membahas wacana 'kiai' yaitu Sujiwo Tejo. Dia membahas bahwa 'kiai' dalam khazanah kebudayaan Jawa, tidak hanya berafiliasi dengan tokoh agama islam. Tapi juga disematkan ke benda pusaka, bahkan binatang yang dihormati: 'kerbau'. Dengan sebutan 'Kiai Selamet'.
Pembahasan menyerupai itu sudah banyak. Bahkan sudah sangat banyak. Maka dalam goresan pena ini, dibahas dari segi bahasanya.
Kalau kita mencari kata "kyai" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kita niscaya bakal diarahkan kepada kata "kiai". Pakai karakter 'i' sehabis 'k'. Tidak ada karakter 'y'. Inilah yang baku, berdasarkan kaidah bahasa.
Penulisan 'kyai' dianggap tidak baku, sebab dalam kaidah tata bahasa baku bahasa Indonesia (dulu) tidak dikenal gugus konsonan 'ky'. Belum tentu, ke depan masih konsisten menyerupai ini.
Ketentuan bahasa dapat berubah. Ketika berguru di Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dulu, saya pernah berselisih paham dengan salah seorang pengajar. Menurutnya yang merujuk pada Buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia tidak ada susuna 'mt'. Padahal saya menemukan lema / entri 'Tamtama' dan 'Tamtam' dalam KBBI Edisi Ketiga.
Nah, kata 'kiai' mungkin mengalamibproses pembakuan yang demikian. Karena tidak ada susunan 'ky' dalam kaidah pembentukan istilah Bahasa Indonesia, maka bentuk pembakuannya yaitu 'kiai'.
Lalu, mengapa masih banyak yang menulis 'kyai' pakai y alih-alih pakai i. Hal ini dipengaruhi bentuk kata dan goresan pena asalnya. Kata 'kyai' bahkan ada yang menulis 'kiyai' biasa dipakai dalam khazanah Islam Jawa/Pesantren dalam bentuk karakter arab pegon. Bahasa Jawa yang ditulis dalam karakter arab dengan modifikasi. Modifikasi ini diharapkan untuk menyesuaikan suara bahasa Jawa yang tidak terwakili oleh karakter arab.
Penulisan 'kiai' dalam karakter pegon yaitu كياهي karakter utamanya yaitu kaf yak ha' dan yak. Kalau karakter ha' dalam pegon, nasibnya sama dengan karakter ho dalam karakter jawa. Sama-sama biasa dilesapkan. Karena sama-sama tidak punya karakter vokal. Maka biasa luluh atau hilang.
Tapi tidak begitu dengan karakter 'yak'. Maka, saat ditransliterasikan dengan karakter latin, orang yang sudah kenal karakter pegon maka bakal menulis kiyahi, atau kiyai, atau kyai. Bentuk yang paling jamak dipakai yaitu 'kyai'.
Sama halnya dengan penulisan 'sholat'. Karena memang bunyinya harus menyerupai itu, bentuk baku 'salat' dalam penulisan bahasa Indonesia justru dianggap salah.
Selebihnya, terserah para pemakainya. Mau pakai 'kiai' atau 'kyai' terserah.
0 Response to "Mengapa Harus Kiai"